12 November 2012

Kekasih untuk Malam

Lelaki itu menatap kosong ke angkasa menembus awan. Disapanya alam yang tampak akrab di sore nan cerah itu. Dedaunan melambai-lambai lembut. Sementara angin sepoi-sepoi berhembus melenakan mata. Burung-burung pun tak mau ketinggalan memeriahkan suasana. Seperti mengejar mentari, berduyun- duyun mereka terbang ke barat. Karenanya jualah hari mengabarkan mentari segera permisi. Tapi keakraban di sore itu tak dapat menutupi kegelisahan hati lelaki itu. Dari raut mukanya terlihat jelas kegundahan yang merayap di hatinya. Tatapan matanya penuh selidik. Seringai muka dari wajahnya menjelma saat sang senja menyapa, Ia begitu iri dengan mega-mega yang berarak mengiringi kehadiran senja. Namun senja yang memang dinantinya hanya tersenyum penuh keramahan menyambut kehadiran lelaki itu. Tanpa seperti dipaksakan sang senja yang tampak begitu anggun di sore itu menyapa lelaki berambut ikal yang tetap saja termangu menatapnya. “Ada apa kau menemuiku?” senja mengawali pertemuan itu dengan pertanyaan penuh senyuman. Lelaki itu hanya tersenyum seakan dengan senyum cukuplah sebagai jawaban baginya. Ditariknya nafas dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan.Udara yang dihirupnya turut terengah-engah mengiringi degup di dada, sedang matanya ke langit menatap siluet senja yang melukiskan hari beranjak malam. Tatapannya tajam menerobos jauh membelah udara menembus gumpalan awan putih di ufuk barat yang memerah. Pandangannya seibarat anak panah yang terlepas dari busurnya, begitu cepat tapi tak pernah sampai pada titik tertentu.
Baca selengkapnya »

18 Juli 2010

Akhir Sebuah Cerita

Entah bagaimana aku harus mengakhirinya. Setelah sekian lama aku menuliskan rangkaian cerita di atas lembaran buram hidupku dengan tinta yang sesekali harus ku timpa dengan tambalan-tambalan yang pastinya berbekas.Terlalu banyak coretan-coretan yang tak bisa kuhindari untuk selalu memunculkan memori-memori menyedihkan. Akupun tak terlalu berharap untuk mendapatkan tinta emas yang nantinya kan kutulis segala keindahan-keindahan di lembar akhir cerita. Sudah terlalu banyak catatan catatan orang yang kubaca dan pasti berakhir dengan keindahan ataupun kebahagiaan. Derita di awalnya dan bahagia di akhirnya. Kau pasti mengharapkan yang demikian. Tapi tidak dengan aku, tidak ada ruginya jika aku menambah satu lagi cerita penderitaan di bumi ini.


“Ma, dimana bapak?” rengekmu. Rengek bocah tiga tahun. lembut kau bicara padaku dengan senyummu yang kurasa sebagai sebuah cibiran padaku. Ya ... senyuman itu juga yang telah menghantarku sampai di tempat ini.

Aku tak juga menjawab pertanyaanmu. Mungkin kau mengharap belas kasihku. Tidak!, meski senyummu itu masih ada di bibirmu, aku tak akan melayani keinginanmu. Kubelai rambutmu, dengan sedikit paksaan senyuman yang seakan berusaha menyenangkanmu. Tapi, jauh di lubuk hatiku aku masih memendam bara yang lambat laun pasti akan menjadi kobaran api yang turut pula membakar hatimu.

Mungkinkah senyuman itu dapat mengakhiri cerita.
Ah....... akhir sebuah cerita tak selamanya indah.

“Tidur nak, sudah larut” pintaku dengan sedikit senyuman.
Seperti biasa kau tampak menuruti pintaku, dan segera kau pejamkan mata mu. Aku yakin kaupun tak segera tertidur, hanya sandiwara mu saja dan berharap aku mengira dirimu sudah terlelap dalam buaian mimpi. Dan seperti biasa juga aku akan segera meninggalkan dirimu. Dengan berat tetap aku meninggalkanmu. Aku yakin kau pasti mendengar langkahku, ekor mata mu pun akan mengikuti langkahku . masih dengan penuh sandiwara aku pun berpura-pura-menganggap dirimu sudah terlelap, karena itu juga yang kau harapkan. Aku tahu kau akan bangkit dari baringmu dan menatap langkahku di kejauhan dengan penuh dendam, aku yakin kau ingin mengejarku. Tapi kau tetap diam. Ah.. sandiwaraku pasti yang lebih meyakinkan.


Yogyakarta, 18 Juli 2010

8 Mei 2010

Senandung Dengkur

Di tengah lelapnya malam...
Seirama lolongan anjing yang meredup redam...
Di antara rintihan keangkuhan yang menikam...
Menyayat senandungmu dalam dengkur yang kian mencekam..

Di alasmu yang bau dan berdebu...
Kau masih bisa bersenandung dengan iramamu...
Sementara nyanyianmu serasa rintihan dalam tawa kelakar yang menderu..
Bisingnya yang berlalu kian mengganggu lagumu...

Nyamuk-nyamuk sial kini mengakrab denganmu...
Nyanyian mereka yang bermain di telingamu seibarat nada penghiburmu...
Tubuhmu seakan santapan lezat mereka yang semakin tumbuh subur di genangan comberan dan gunungan sampah yang membau...

Senada tangisan yang mengalun di antara angin yang perlahan menyusut.....

Segala irama bagai meredup dan mengendap dalam gelap....
kau masih bersenandung...
Alam raya terkesima dan seketika bungkam...

Kudengar senandungmu kawan...


Dini hari di sudut kota
Yogyakarta, 8 Mei 2010

3 Mei 2010

Belati Itu

Mungkin aku tak bisa ungkapkan rasa apa yang kurasa ketika kutikam kau kemarin.
Tapi jauh tersimpan perih ketika kupaksa tanganku mengelap darah yang menempel di belati itu.

Jauh aku merasakan keperihan ketika harus kutahan gejolak emosi.
Karena aku takkan membiarkan rasa kasihan menyelimuti perasaanku.
Aku bukan orang dekatmu, tapi kau memaksaku melakukan hal yang tak ingin aku lakukan. Ah......... selamat jalan sobat.
Belatiku akan selalu mengingatkanku padamu, dan kilauan matanya selalu membayangkan darah yang mengalir dari pangkal sampai ke ujung dan menetes tepat di penghujung akhir nafasmu.

-Yogyakarta, 03 Mei 2010

6 September 2009

Copet Itu

Kudapati tubuhku terbaring lemah di pembaringan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Putih... ruangan itu putih semua, benda-benda yang ada di situ pun tampak terang, dominan warna putih di ruangan itu. Aku bingung sendiri, dimana aku? Kucoba bangkitkan tubuhku, terasa sakit di seluruh tubuhku, kuraba wajahku, ada benjolan di dahi dan bibir, ada balutan perban di pelipis sebelah kiriku. Aku hanya meringis menahan sakit. Kuperhatikan lagi seluruh keadaan seluruh tubuhku, lebam di sana - sini. Kembali kuedarkan pandanganku, kuraba semua kantong celanaku. Hilang...!! dompetku, HP ku, tasku!!? Apa yang terjadi...?

***

Sekali lagi kuperiksa dompetku begitu sampai di Stasiun Senen. Alhamdulillah masih ada. Sebelum berangkat teman-temanku selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, Jakarta adalah kota besar yang memiliki banyak macam tingkah polah manusia, dari yang baik sampai yang jahat, dari yang tinggal di apartemen sampai yang tinggal di kolong jembatan, dari orang yang bisa mengaku waras sampai orang yang mengaku gila.ya, kebaikan sangat tipis jaraknya dengan kejahatan. Andi salah satu temanku yang pernah ke Jakarta pernah kecopetan di dalam bus.Baca selengkapnya »

24 April 2009

Lyla: Jablay Pasti Berlalu

“Bagaimana kau bisa yakin kalau dia itu belahan jiwamu?” tanya Awi.

“Nggak mungkin. Dari matanya aku tahu, dia inginkan aku. Kemarin di warung ini dia berdiri di sampingku. Tangannya pura-pura memijit kepala, tapi ekor matanya selalu mengintipku, mencari-cari mataku dan sorotan matanya itu ingin merenggut hatiku..” aku mencoba meyakinkan Awi. Kuambil rokok yang terselip di telingaku dan membakarnya.

“Dari mana kau bisa tahu kalau dia itu ingin merenggut hatimu?”.

“Ah kau ini, dari matanyalah...”. Kuhisap rokokku dalam-dalam.

Awi tertawa lebar-lebar. Giginya yang kuning kerat nikotin anti gosok bermunculan dari mulutnya.. kekehnya bukan saja menertawakan kejengkelanku, tapi lebih dari itu, tawa seorang jomblo melihat kawannya hampir kehilangan jatidiri ‘kejombloan’nya.

Aku dan Awi memang tak seberuntung kawan-kawan yang lain, yang sudah punya tambatan hati dan beberapa diantaranya sudah menikah. Aku sepenuhnya tidak merasa tampan dan pantas untuk perempuan itu. Malam itu dia datang entah dari mana aku tidak tahu. Setelah aku menyanyikan lagunya Chrisye ‘ Badai Pasti Berlalu’ yang didaur ulang oleh Ari Lasso. Dari dekat dia memandangku dengan sedikit terenyum. Ohh... jantung seakan berhenti berdetak melihat senyumnya. Rupawan (mestinya rupawati..) sekali wanita ini. Kutelan air ludahku beberapakali. Wanita itu seperti menghadirkan momen baru dalam hidupku.
Baca selengkapnya »

10 April 2009

Bisikan Itu

Bisikan itu menyelinap di kalbuku
terselip rapi dalam anganku
menusukkan jarum berkarat dalam dagingku

Oh... bisikan itukah yang selalu mengejar ragu?
Diam kucoba lepaskan sematan mimpiku
dia bukan sematan dalam bayangku
jiwaku menepi di tubuh yang kaku
aku begitu malu membuka pakaian di depanmu
kau pasti tahu sikapku

Yogyakarta, 10 April 2009


My Google+

Masih dengan penuh sandiwara aku pun berpura-pura menganggap dirimu sudah terlelap, karena itu juga yang kau harapkan. Aku tahu kau akan bangkit dari baringmu dan menatap langkahku di kejauhan dengan cibirmu yang penuh dendam, aku yakin kau ingin mengejarku. Tapi kau tetap diam. Ah.. sandiwaraku pasti yang lebih meyakinkan.